Mesin Pencari Google

Friday, November 23, 2007

MEMAHAMI KEPUASAN PELAYANAN DARI PERSPEKTIF PASIEN

Pasien adalah seseorang yang datang kepada kita akibat masalah kesehatan yang dialaminya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberikan pelayanan secara homistik, menghormati pasien sebagai individu yang unik, merupakan kesatuan yang integral dari bio-psiko-sosial dan kultural.

Kondisi sakit bagi pasien dapat menjadi sebuah perubahan hidup yang besar dan berarti. Kerusakan fisik, perubahan figur, kehilangan fungsi tubuh, dan perubahan personal higiene dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan, akan menuntut perhatian yang banyak pada kualitas perawatan dimasa ini dan yang akan datang. Hal ini penting dibahas keterkaitannya untuk memfasilitasi adaptasi pasien pada kehidupan barunya dengan kondisi sakitnya, terutama penyakit kronis dan kecacatan. Secara rinci informasi harus dijelaskan secara lisan dan tulisan pada saat sebelum dan setelah diagnosa, yang menjelaskan bagaimana untuk hidup dengan kondisinya, apa yang harus dilakukan, bagaimana mengatur aktifitas diwaktu senggang, diet, penanganan keterbatasan, termasuk bagaimana aktifitas seksual seharusnya dilakukan.
Persson dan Larsson, 2004. menggunakan pendekatan grounded teori dengan metode analisa kualitatif, membangun sebuah model teori kualitas perawatan dari perspektif pasien. Model ini dibangun dengan pemikiran bahwa persepsi pasien tentang apa yang membentuk kualitas perawatan dibentuk oleh pengalaman mereka atas struktur perawatan yang telah ada dan oleh sistem norma, harapan, dan pengalaman mereka sendiri. Dalam model ini, kualitas perawatan dipahami dalam 2 struktur yang jelas dari organisasi perawatan yang intinya hubungan manusia sebanding dengan aspek fisik, administratif dan kualitas lingkungan pelayanan kesehatan. Pandangan pasien mengandung aspek rasional dan aspek kemanusiaan.

Dengan kerangka ini persepsi pasien terhadap kualitas perawatan dapat terkait dengan 4 dimensi: kompetensi teknis medis dari pemberi pelayanan, tingkat orientasi identitas dalam sikap dan tindakan pemberi pelayanan, kondisi teknis fisik dari organisasi pelayanan, atmosfer sosiokultural dari organisasi keperawatan.

Persepsi pasien terhadap kompetensi teknis medis dapat dikaji untuk menunjukan 2 faktor yang mengikuti: Physical caring dan medical care.
Persepsi pasien terhadap kondisi teknis fisik dapat dikaji untuk menunjukan 3 faktor yang mengikuti: kepentingan personal, peralatan perawatan, dan karakteristik ruang perawatan.

Persepsi pasien terhadap pendekatan orientasi identitas dapat dikaji untuk menunjukan 8 faktor yang mengikuti: menjadi personal(penghormatan sebagai individu), perhatian terhadap situasi psikologis, simpati, perhatian terhadap pandangan hidup pasien, partisipasi, penyiapan mental, percaya dan memahami, komitmen.

Persepsi pasien terhadap atmosfer sosiokultural dapat dikaji untuk menunjukan 4 faktor yang mengikuti: lingkungan yang “secluded” tidak diarahkan pada rutinitas, pengobatan positif dari orang yang berarti bagi pasien, pekerjaan yang berarti, atmosfer umum seperti situasi perawatan yang diorganisasikan secara efisien.

Dengan pemahaman terhadap persepsi pasien akan kualitas pelayanan, penyedia jasa tidak akan menempatkan pandangan dalam satu sisi yang dianggap telah mampu memberikan kepuasaan. Disisi lain masih sangat dimungkinkan, apa yang menjadi keyakinan pemberi pelayanan kesehatan ternyata masih belum melihat keunikan dari pasien dan kultur masyarakat disekitarnya. Menjadi institusi yang terbuka dalam menerima kritik, multak diperlukan untuk kualitas pelayanan dan kepuasan pasien.

Wednesday, November 21, 2007

PENTINGNYA MEKANISME KOPING ADAPTIF UNTUK PASIEN HIV/AIDS

Jumlah penderita HI/ AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita dilaporkan jauh lebih kecil dari pada jumlah sebenarnya. Hal ini berarti bahwa jumlah penderita HIV/ AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Diperkirakan jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003 mencapai 90.000 – 130.000 orang. Sementara Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2004 (Depkes RI, 2006) melaporkan jumlah kumulatif kasus HIV/ AIDS sebanyak 4.605 kasus. Sesuai dengan Sensus tahun 2000 kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk secara nasional sebesar 0,68. Cara penularan AIDS yang terbesar adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 50,62%, melalui suntikan yang ada kaiannya dengan NAPZA sebesar 26,26% serta melalui hubungan homoseksual sebesar 9,34% (www.depkes.go.id/downloads/profil/kalteng/narasi_profil05/narasi_profil05/BAB%20III_profil.doc).

Situasi yang dihadapi penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis dan sosial sehingga diperlukan intervensi komprehensif (medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling). Penderita HIV/AIDS diarahkan untuk mengembangkan diri dengan transformasi kesadaran agar nantinya dapat mengelola emosinya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Nurlaila Effendy, 2007. Peran Psikologi Transpersonal dalam meningkatkan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di Indonesia, www.pdskjijaya.org/abstrak/Free%20Paper%20V.doc, diakses tanggal 25 Oktober 2007).

Infeksi HIV saat ini belum ditemukan pengobatannya, sehingga sangat memungkinkan bagi pasien yang tidak mempunyai koping individu efektif akan mengalami kecemasan dan depresi. Dari 15 orang penderita HIV/AIDS yang di rawat inap, yang tidak depresi ada 2 orang (13,33%), depresi ringan 6 orang (40,00%), depresi sedang 5 orang (33,34%), dan depresi berat 2 orang (13,33%) (Jimmy Ollich, dkk. 2007. Derajat Depresi Penderita HIV/AIDS yang Dirawat Inap di RS Wahidin Sudirohusodo Periode Bulan Mei 2007, www.pdskjijaya.org/abstrak/Free%20Paper%20V.doc, diakses tanggal 25 Oktober 2007).


Kecemasan dapat diartikan sebagai kondisi normal untuk merespon tuntutan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Pada kondisi seimbang, tubuh akan segera beradaptasi menghilangkan kecemasan dan mengembalikan kenyamanan tersebut dengan mekanisme koping yang adaptif.
Roy mengungkapkan bahwa individu sebagai mahluk bio psiko social sebagai suatu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Dalam keperawatan Roy memandang manusia yang utuh dan sehat, individu mampu berfungi untuk memenuhi kebutuhan bio psiko social setiap orang menggunakan koping yang positif maupun yang negatif. Untuk mampu beradaptasi tiap individu akan berespon terhadap kebutuhan fisiologis, konsep diri yang positif, mampu memelihara integritas diri, selalu berada pada rentang sehat sakit untuk memelihara proses adaptasi. Roy memandang bahwa kesehatan merupakan keseimbangan dari hasil koping yang efektif.

Roy mengungkapkan bahwa individu sebagai mahluk bio psiko social sebagai suatu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Dalam keperawatan Roy memandang manusia yang utuh dan sehat, individu mampu berfungi untuk memenuhi kebutuhan bio psiko social setiap orang menggunakan koping yang positif maupun yang negatif. Untuk mampu beradaptasi tiap individu akan berespon terhadap kebutuhan fisiologis, konsep diri yang positif, mampu memelihara integritas diri, selalu berada pada rentang sehat sakit untuk memelihara proses adaptasi. Roy memandang bahwa kesehatan merupakan keseimbangan dari hasil koping yang efektif.

Stresor secara umum diartikan sebagai tantangan internal maupun eksternal yang tidak terpenuhi dalam diri seseorang. Pada mamalia respon terhadap stres bervariasi dalam mekanisme fisiologi yang ditujukan untuk mengembalikan homeostasis. Respon fisiologi terhadap stres secara primer dilakukan oleh 2 sistem neuroendokrin; 1). Sypmpathetic Nervous System (SNS), 2). Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) aksis. Peningkatan katekolamin jaringan dan plasma menghasilkan peningkatan aktifitas SNS yang diinduksi oleh bervariasi stresor. Aktivasi SNS menghasilkan pelepasan lokal norepinefrin dari saraf simpatis terminal dan dalam sekresi hormon epinefrin dari sel chromaffin medula adrenal. Melalui interaksi oL dan P-adrenegic reseptor, norepinefrin dan epinefrin memperantarai efek adaptasi kardiovaskuler dan metabolik saat kondisi stres. (John F. Sheridan, dkk. 1994)

Aktifitas aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) oleh stres akan menyebabkan penghambatan pada respon imun inflamasi, karena seluruh komponen sistem imun dihambat oleh kortisol. Pada tingkat seluler, terjadi gangguan pada fungsi dan lalu lintas lekosit, penurunan produksi sitokin dan mediator imunitas lainnya. Hambatan tersebut pada organ target terjadi melalui efek antiinflamasi dan imunosupresi sebagai akibat efek hormon glukokortikoid (Aru W. Sudoyo, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, halaman 84).

Pada pasien HIV stres akan semakin menurunkan sistem kekebalan tubuh yang diperankan terutama oleh sel T helper (Th). Sebaliknya mekanisme koping yang adaptif pada pasien akan meningkatkan kekebalan tubuh dan meningkatkan sistem imunitas sehingga pasien terhindar dari infeksi oportunistik. Demikian besar dampak mekanisme koping adaptif untuk kualitas hidup pada pasien HIV reaktif maka diperlukan pertukaran informasi secara mendetail dan menyeluruh antar sesama pasien HIV.

Monday, November 19, 2007

Pendaftar Mahasiswa Universitas Indonesia klik disini

Bagi rekan-rekan, terutama rekan perawat yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Indonesia, informasi dan manual pendaftaran on line dapat diakses lewat link diatas.

Informasi Pendaftara CPNS DEPKES

Thursday, November 15, 2007

Teori Kepemimpinan

Review teori-teori kunci kepemimpinan
1. Teori Trait
Teori ini mempercayai bahwa pemimpin memiliki cara yang bervariasi karena mereka memiliki karakteristik atau disposisi yang sudah melekat dalam dirinya. Ada 5 karakteristik kepemimpinan yang utama menurut teori ini : yaitu percaya diri, empati, ambisi, control diri dan rasa ingin tahu.
Teori ini mengatakan bahwa anda dilahirkan sebagai emimpin dan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipelajari.

2. Teori Situational
Teori ini menekankan bahwa kepemimpinan muncul dalam situasi yang berbeda untuk menyesuaikan perbedaan kebutuhan dan lingkungan. Teori ini dikembangkan lebih dulu oleh Blanchard & Hersey (1976), yang mengatakan bahwa pemimpn perlu memiliki perbedaan untuk menyesuaikan kebutuhan dan maturitas pengikut, tidak ada cara yang paling baik bagi gaya kepemimpinan. Leaders perlu mengembangkan gaya kepemimpinan dan dapat mendiagnosa yang mana pendekatan yang sesuai untuk digunakan pada suatu situasi.

3. Transactional and transformational Leadership
Pertama kali dikembangkan oleh James McGregor Burns tahun 1978. dan kemudian dikembangkan oleh Bass dan lain-lain.
Kepemimpinan ini menggunakan pendekatan kepada bawahan dengan menukarkan sesuatu untuk yang lainnya (seperti menggunakan financial atau status insentif). Kepemimpinan transaksional berdasarkan pada pemikiran memberikan motivasi kepada bawahan melalu bentuk instrument seperti uang atau system reward. Bass et al (1987) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah universal dan dapat diaplikasikan tanpa memperhatikan budaya, memberi semangat pada bawahan untuk lebih mementingkan organisasi atau kelompok. Kepemimpinan transformasional lebih menkonsentrasikan pada pengembangan bawahan daripada pencaaian target (Kepemimpinan transaksional) dan dalam beberapa buku kepemimpinan transformasional sama dengan leadership berlawanan dengan kepemimpinan transaksional yang disamakan dengan manajemen.

Leadership dan perubahan
Kouzes dan Posner (1987) melakukan pengamatan dan menunjukkan bahwa ketrampilan kepemimpinan dapat dipelajari. Kouzes & Posner mengemukakan 5 langkah proses yang mana seorang leader dapat melakukan sesuatu :
a. Tantangan adalah proses mendorong orang lain berani mengambil risiko
b. Bersemangat untuk mencapai visi
c. Memungkinkan bawahan untuk bertindak
d. Menjadi model
e. Mendorong dan mendukung dengan hati

Penerapan kelima langkah ini memiliki arti bahwa seorang leader perlu untuk belajar bagaimana menjadikan timnya sebagai kekuatan yang positif



Leadership bagi asuhan kesehatan professional
Satu dari kesulitan memperlihatkan kepemimpinan pada asuhan kesehatan professional adalah banyaknya teori yang tidak dikembangkan dalam konteks asuhan kesehatan. Biasanya teori-teori dikembangkan dalam konteks bisnis dan kemudian diaplikasikan pada pelayanan kesehatan. Dan juga sebagian besar riset yang dipublikasikan mengenai kepemimpinan pelayanan kesehatan sedikit sekali menjelaskan kejadian-kejadian yang berdampak pada perbaikan perawatan pasien atau sasaran organisasi (Vance & Larson, 2002).



Keterbatasan dominansi diri dan pengaruh interpersonal

Drath (2001) memberikan satu kritik yang menarik mengenai teori leadership “Dominansi diri (teori trait dan kepemimpinan yag karismatik) dan pengaruh interpersonal (kepemimpinan transformative, kepemimpinan transaksional dan teori kontingensi)”.



Pengembangan leaders dan leadership : definisi pengembangan leadership

Yukl (1998) menjelaskan bahwa leadership dan manajemen adalah berbeda tetapi saling terkait. Wexley & Baldwin (1986) menguraikan bahwa pengembangan manajemen yang utama adalah sebagai edukasi dan pelatihan dengan menekankan kepada jenis-jenis pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan khusus yang akan diperoleh.

Mc. Cauley et al (1998) mendefinisikan pengembangan leadership sebagai perluasan sekumpulan kapasitas yang berhubungan dengan anggota organisasi untuk mengikutsertakan secara efektif dalam peran-peran dan proses-proses leadership. Keys & Wolfe (1988) menjelaskan bahwa proses leadership sebagai kemampuan sekelompok orang untuk bekerja bersama-sama penuh arti mengingat proses manajemen yang cenderung untuk menjadikan posisi dan yang berhubungan dengan organisasi secara khusus.

Pengembangan Kepemimpinan dan pemimpin yang efektif

Day (2001) membuat perbedaan antara Pengembangan Kepemimpinan dan pemimpin yang efektif
Pengembang leader ciri khasnya difokuskan pada kemampuan dasar individu dan ketrampilan, dan kemampuan dikelompokkan dengan peran-peran leadership secara formal. Sering yang berhubungan dengan perkembangan model menyangkut pembangunan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk membentuk model diri yang akurat agar mengikutsertakan perkembangan identitas dan sikap yang sehat (Hall & Seibert, 1992). Pengembangan leader kemudian memerlukan individu tersebut untuk menggunakan model dirinya agar berpenampilan secara efektif dalam berbagai peran.

Penekanan utama pada pengembangan leadership adalah membangun dan menggunakan kemampuan interpersonal (Day, 2001). Kunci aspek-aspek program pengembangan yang termasuk kesadaran sosial seperti orientasi pada pelayanan, empati dan pengembangan lainnya; ketrampilan sosial seperti membangun hubungan, kolaborasi, kerjasama dan manajemen konflik. Conger et al (1999) memperingatkan tendensi dalam organisasi untuk membiarkan pengembangan leadership menjadi ”proses yang tanpa rencana” dimana tujuan pengembangan tidak jelas, akontabilitas terhadap pelaksanaan dan terdapat kegagalan untuk evaluasi yang efektif.

Perbedaan antara pengembangan leadership dan pengembangan leader sebaiknya tidak membiarkan yang satu cenderung untuk dipertimbangkan melebihi yang lain. Pengembangan leader tanpa menghormati keterkaitan yang berhubungan dengan organisasi dan konteks sosial mengabaikan banyak literatur leadership dan sedikit untuk mempertinggi kapasitas organisasi.

Tuesday, November 6, 2007

TENTANG KOMITE PERAWATAN


Komite perawatan merupakan kelompok jabatan fungsional didalam rumah sakit untuk menunjang keberhasilan fungsi rumah sakit sebagai unit pelayanan terhadap masyarakat.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pedoman Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah Menteri Dalam Negeri, Pasal 6, Susunan organisasi Rumah Sakit Daerah sekurang-kurangnya terdiri dari: Direktur, Wakil Direktur, Sekretariat, Bidang, Komite Medik, Staf Medik Fungsional, Komite Keperawatan, Instalasi, Susunan Pengawas Intern
Pasal 9, Komite Keperawatan mempunyai tugas membantu Direktur menyusun standar keperawatan, pembinaan asuhan keperawatan, melaksanakan pembinaan etika profesi keperawatan.
Untuk meningkatkan peran komite perawatan di RSU BANYUMAS secara efektif dalam membantu Direktur, diperlukan rencana kerja yang rinci dan efisien. Rencana kerja disusun dalam rapat kerja seperti diamantkan dalam AD/ART Komite Perawatan BAB VIII tentang Tata Kerja dan Koordinasi, Pasal 3 Rapat Kerja, yaitu rapat yang dilaksanakan pada awal masa jabatan untuk membahas rancangan kerja selama masa 1( satu ) periode kerja Komite Keperawatan.
Penyusunan diperlukan waktu dan konsentrasi tinggi, dengan pemikiran yang menyeluruh dari setiap anggota komite perawatan.

MEMAHAMI FALSAFAH DAN PARADIGMA KEPERAWATAN


Falsafah keperawatan
Definisi : merupakan pandangan dasar tentang hakekat manusia dan esensi keperawatan yang menjadikan kerangka dasar dalam praktek keperawatan.

Esensi falsafah keperawatan :
memandang pasien sebagai mahluk yang holistic, yang harus dipenuhi segala kebutuhannya , baik biologis, psikolois, social dan spiritual yang diberiakan secara komprehensif
pelayanan keperawatan secara langsung dngan memperhatikan aspek kemanusiaan
setiap pasien berhak mendapatkan perawatan tanpa membeddakan suku, kepercayaan, status social, agama dan ekonomi
pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari system pelayanan kesperawatan
menjadikan pasien sebagai mitra yang aktif


Paradigma keperawatan
Definisi
Paradigka keperawatan menurut Masterman, 1970 adalah pandangan fundamental tentang persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan

Paradigma keperawatan menurut Gaffar, 1997, adalah cara pandang yang mendasar atau cara kita melihat, memikirkan, memberi makna, mmenyikapi dan memilih tindakanterhadap berbagai fenomena yang ada dalam keperawatan. Dengan demikian paradigma keperawatan berfungsi sebagai acuan atau dasar dalam melaksanakan praktek keperawatan yang bersifat professional.


Komponen Paradigma Keperawatan :
1. Manusia
2. Kesehatan
3. KeperawatanLingkungan


Middle Range Nursing Theories meliputi :
Ida Jean Orlando “ Nursing Process theory “
Hildegard Peplau “ Psychodynamic Nursing “
Madeleine Leininger “ Cultural Care Theory “
Rosemarie Parse “ Man-Living-health”
Sister Calista Roy “ Adaptation Model “

Monday, November 5, 2007

HYPNOSIS SEBAGAI INTERVENSI KEPERAWATAN MANDIRI

Hypnosis saat ini merupakan area abu-abu. Artinya setiap orang secara bertanggung jawab bisa mengembangkannya. Hypnosis dalam keperawatan tercantum dalam label NIC (Nursing Intervention Classification), menjadi menarik saat didiskusikan dalam masalah keperawatan apa sajakah hypnosis dapat digunmakan?
Dalam buku NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) linkage, menyebutkan area masalah keperawatan pasien yang dapat diatasi dengan intervensi hypnosis diantaranya: intoleransi aktifitas, cemas, takut, perubahan gambaran diri dan beberapa yang lainnya.
Penulis dan teman-teman di RSU Banyumas mencoba mengaplikasikan dalam masalah nyeri akut maupun kronis dalam skala nyeri sedang ke bawah, melihat hypnosis sangat eektif untuk mereduksi nyeri. Dan yang terpenting, merubah persepsi pasien terhadap nyeri sehingga pasien sangat kooperatif untuk mengurangi intervensi farmakologis. Beberapa kasus, kami mengaplikasikan hypnosis sebelum induksi anastesi pra-pembedahan, hypnosis efektif untuk mengurangi kecemasan dan mengurangi jumlah obat yang diguanakan.
Artinya kita melihat, hypnosis memang cukup efektif, dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dalam intervensi keperawatan mandiri lebih luas melalui riset keperawatan. Anda tertarik?
Jika anda termasuk orang yang tertarik untuk belajar hypnosis, anda bisa menghubungi kami untuk belajar bersama dengan biaya terjangkau. Silahkan anda menghubungi alamat kami:
email: eko_win77@yahoo.co.id atau telp di 0811260824. Atau datang saja ke RSU Banyumas Jl. RS No.1 Banyumas Jawa Tengah Telp/fax:(0281)796182

KLINIK KOMPLEMENTER: PERLUKAH?

Pelayanan kesehatan saat ini dan masa yang akan datang akan terus dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan meningkatnya pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang kesehatan, pelayanan kesehatan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Dengan perkembangan tekhnologi dan terapi obat-obatan maka pembiayaan kesehatan juga meningkat. Disisi lain, tidak semua masyarakat mempunyai cukup biaya untuk dapat mengakses semua bentuk teknologi dan pelayanan kesehatan. Masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang murah dan bermutu, terjamin keselamatan dan efektifitasnya. Berkembang pengobatan alternatif, yang kemudian dikenal dengan Complementary Alternative Medecine (CAM), Complementary Alternative Therapies (CAT) atau kadang disebut juga Complementary Therapies (CTs).
CTs mulai mendapatkan momentummnya dalam praktek medis dan keperawatan di AS saat masyarakat mulai mengenali adanya keterbatasan dalam terapi konvensional. Eisenberg et al (1998) menemukan bahwa 42% dari respondennya menggunakan berbagai bentuk dari terapi komplementer, 10% mengalami peningkatan dari survey tahun 1991 pada kelompok penelitian yang sama (Snyder & Lindquist, 2001). Kisah yang paling menarik adalah mayoritas masyarakat AS membayar pelayanan ini sebanyak $22 milyar berdasarkan pada survey tahun 1997 (Snyder & Lindquist, 2001). Pada tahun 2001, 47% (25) dari 53 negara bagian dan dewan keperawatan teritorial memperbolehkan praktek CTs; 13% (7) masih dalam proses mendiskusikan issue tersebut; dan 40% (21) tidak secara formal menyinggung topik ini namun juga tidak menolak praktek ini (Sparber, 2001).
Alasan populer dari penggunaan CTs ini termasuk diantaranya adalah tidak sembuhnya penyakit setelah menjalani pengobatan konvensional (therapi farmakologik standar), sedikit atau tidak diketahuinya efek samping pada CTs, pasien lebih memiliki kontrol dan terlibat dalam pengambilan keputusan dalam pengobatan, tidak adanya atau kurangnya faktor invasif, pasien mempunyai keinginan untuk dilayani oleh tenaga kesehatan yang ‘mendengar’ dan ‘peduli’, menginginkan untuk diintervensi dengan cara yang holistik (pasien diperhatikan secara bio-psiko-sosial-spiritual), lebih berinteraksi dengan tenaga kesehatan, dan cost effectiveness (Snyder & Lindquist, 2001).
Di Indonesia klinik komplementer sudah banyak masuk dalam pelayanan terintegrasi dengan pelayanan rumah sakit. Kelengkapan pelayanan komplementer yang diberikan dan kesesuaian antara harapan pelanggan dan ketersediaan pelayanan bagi pelanggan masih banyak dipertanyakan.
RSU Banyumas merupakan salah satu institusi pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang sudah diakui dan mendapatkan hati bagi masyarakat di wilayah karesidenan Banyumas. Hal tersebut dibuktikan dengan survei kepuasan pelanggan, diraihnya penghargaan pelayanan publik dan jumlah kunjungan yang cukup banyak. Menjadi tantangan bagi RSU Banyumas untuk menyediakan pelayanan komplementer yang holistik dan terintegrasi dengan pelayanan rumah sakit secara keseluruhan sehingga masyarakat tidak usah mencari pelayanan ditempat lain yang kredibilitasnya belum teruji.